(Oleh:
Nanang Sunarta )
Pertanyaan
diatas sengaja disajikan sebagai judul sekaligus tema bahasan yang
akan coba penulis paparkan dalam tulisan ini. Sepintas kilas
pertanyaan diatas mudah untuk dijawab dalam arti hanya ada dua
alternatif jawaban yang bisa kita berikan yaitu “ ya
sudah
dan atau
belum”
sama halnya dengan materi Yes
– No
Question tatkala kita belajar tata bahasa (Grammar) dalam bahasa
Inggris. Akan tetapi bila kita cermati lebih jauh ternyata
kalimat/pertanyaan tersebut mengandung seruan sekaligus mengingatkan
pada kita semua agar semestinya kita berintrosfeksi terhadap apa yang
telah kita lakukan selama ini baik dalam kapasitasnya sebagai mahluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (hamba Allah SWT) maupun sebagai mahluk
sosial yang seringkali bergantung pada keberadaan orang lain sehingga
berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama dalam menjalankan
berbagai aktifitas maupun rutinitas merupakan sesuatu yang tak bisa
ditawar-tawar lagi.
Hakikat
Pemimpin
Dalam
persepsi sederhana cenderung kita memaknai kata pemimpin sebagai
sosok atau orang yang berada digaris terdepan untuk melakukan sebuah
aksi, gerakan, tindakan, maupun suatu kegiatan yang kemudian aksinya
tersebut didukung serta diikuti oleh orang-orang yang berada
disekelilingnya atau dalam komunitasnya. Makna pemimpin yang dalam
bahasa Inggris “the
Leader”
atau der
Leiter
demikian kata orang Jerman, biasanya adalah orang yang menduduki
sebuah jabatan lebih tinggi dari kebanyakan orang yang ada
dilingkungan pekerjaannya. Dengan jabatannya itu sangat memungkinkan
seseorang selaku pemimpin untuk memerintah atau memberikan instruksi
dalam rangka memenuhi tujuan serta keinginannya. Dengan posisi serta
kewenangannya itu pula seorang pemimpin berhak dan berkuasa
menentukan serta memutuskan sebuah kebijakan yang bisa jadi
menguntungkan dan memuaskan sebagian pihak (golongan) saja ataupun
sebaliknya.
Selain
itu ada pula yang berpendapat bahwa pemimpin adalah seseorang atau
individu yang mampu mempengaruhi, mengorganisir, mengkoordodnir
perilaku serta sikap orang lain untuk berbuat sesuatu sesuai dengan
tujuan yang diharapkannya.
Terlepas
dari semua persepsi yang telah dikemukakan tadi terkait dengan makna
atau pengertian tentang pemimpin, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan dan semoga dapat memberikan sedikit pencerahan buat kita
semua tentang makna serta hakikat pemimpin ditinjau dari sudut
pandang agama.
Dalam
sebuah keterangan (Al-Hadits) dijelaskan bahwa: ”Setiap
diri (kamu) adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”.
Berangkat dari keterangan tersebut tidaklah berlebihan rasanya bila
dalam kesempatan ini penulis ingin kembali mengingatkan khususnya
untuk diri penulis sendiri dan umumnya buat saudara, kerabat, rekan
sejawat, atau siapapun sebagai wujud kepedulian sesama dalam upaya
amar
ma’ruf sebagaimana
yang telah dianjurkan dalam ajaran agama kita. “Dan
tolong menolonglah (saling menasehatilah) kalian dalam kebaikan dan
ketaqwaan dan janganlah kalian saling membantu dalam hal
keburukan/kejahatan.
(QS.
Al-Maidah; ).
Dengan
penjelasan diatas tadi kiranya dapat lebih memperluas persepsi
serta pemahaman kita tentang batasan maupun makna pemimpin yang
sebenarnya. Pemimpin bukan hanya sekedar sosok atau figur yang
membawahi individu-individu dalam sebuah lembaga atau instansi.
Pemimpin bukan sekedar manager yang bertanggungjawab memenej sebuah
organisasi/perusahaan, bukan pula sekedar posisi/jabatan bergengsi
untuk sebuah profesi. Seorang pemimpin tidak pula hanya bisa dilihat
dari kewenangannya ketika memberikan intruksi/perintah untuk
dikerjakan bawahannya.
Individu
sebagai Pemimpin
Selanjutnya
pengertian pemimpin dalam konteks yang penulis maksud disini lebih
kepada bagaimana kita sebagai individu “mahluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Kuasa (Allah SWT) mampu berperan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi (tupoksi)
masing-masing sebagaimana yang telah diembankan dan diamanatkan-Nya
pada kita selaku mahluk yang dianggap layak menjadi pemimpin
(khalifah) dimuka bumi ini. Sebagai bahan refleksi ada baiknya kita
pertanyakan kembali pada diri kita masing-masing; sudahkah
kita menjadi pemimpin yang adil buat bawahan kita? Sudahkah kita
menjadi pemimpin yang amanah buat masyarakat/rakyat kita? Sudahkah
kita menjadi pemimpin (imam) yang baik buat keluarga kita? Sudahkah
kita (guru) menjadi pemimpin yang tauladan buat siswa-siswinya
disekolah? Sudahkah pula kita mampu memimpin diri kita sendiri dengan
sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya menurut ajaran agama yang kita
yakini? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya akan sangat beragam dan
variatif tergantung pada siapa,
apa,
serta bagaimana
seseorang tersebut telah berkiprah dan menjalankan perannya.
Setelah
kita mengetahui dan memahami makna serta hakikat pemimpin yang
sebenarnya sebagai tindak lanjut dan konsekuensi logisnya adalah kita
perlu menyikapi dan berupaya sekuat tenaga agar diri kita mampu
menjadi seorang pemimpin yang baik dan diharapkan, baik memimpin
sebuah lembaga/instansi, memimpin sebuah wilayah atau masyarakat,
memimpin sebuah komunitas tertentu, memimpin rumah tangga/keluarga,
memimpin sebuah organisasi, dan atau setidaknya menjadi pemimpin bagi
dirinya sendiri.
Memimpin
diri sendiri meskipun jika dilihat dari lingkup cakupannya paling
kecil dan sedikit jumlahnya ternyata tidaklah semudah dan sesederhana
yang dibayangkan. Ketika memimpin diri sendiri boleh jadi anggotanya
(secara kasat mata) cuma satu yakni diri kita sendiri, akan tetapi
bila kita telusuri lebih jauh diri kita pun ibarat sebuah sistem yang
merupakan perpaduan dari berbgai unsur anggota (organ tubuh) yang
membentuk satu kesatuan yang utuh. Sebagai mahluk sempurna ciptaan
Tuhan kita dikaruniai akal dan pikiran. Selain itu dalam wujud fisik
kita dilengkapi dengan panca indera yang masing-masing memiliki tugas
dan fungsinya yang berbeda. Sebagai seorang pemimpin atas “diri
kita sendiri” kita dituntut mampu mengkoordidnir, mengelola dan
mengendalikan segala niat maupun keinginan-keinginan yang muncul
dari dalam diri kita yang selanjutnya dikerjakan dan direalisasikan
oleh organ-organ lain berupa panca indera. Sebagai pemimpin yang arif
dan bijak tentunya kita tidak akan mengikuti dan membiarkan niatan
dan keinginan yang bertentangan dengan nurani kebenaran terwujud
dalam bentuk perilaku atau amal perbuatan karena pada akhirnya hanya
akan menjerumuskan diri kita ke lembah dosa dan nista. Sebaliknya
manakala terbesit niatan dan maksud yang baik maka akal sehat kitapun
akan segera merekomendasikannya agar segera dikerjakan.
Sosok
Pemimpin Ideal
Seperti
apakah sosok pemimpin ideal itu ? Bicara tentang ideal berarti kita
mengharapkan sesuatu ada/terjadi secara sempurna tanpa kurang suatu
apapun. Kalau kita kembalikan lagi pada fitrah manusia dalam
kapasitasnya sebagai mahluk Allah SWT, pastinya kata kunci “sempurna
“
tersebut tidaklah dapat kita peroleh karena kesempurnaan hakikatnya
hanya milik Allah SWT semata.
Kendatipun
kita tidak bisa mencapai dan meraih kesempurnaan, sebagai hamba Tuhan
kita diwajibkan untuk berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Adapun hasil dari jerih
payah yang telah kita lakukan sepenuhnya kita serahkan pada Yang Maha
Kuasa untuk kemudian kita bertawakal.
Terkait
bagaimana sosok pemimpin ideal itu seharusnya, paling tidak ada
beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai acuan antara lain;
jujur,
cerdas, berwawasan ke depan, kompeten, memiliki jiwa motivator, serta
adil.
Kriteria tersebut selaras dengan model kepemimpinan Rasulullah Saw.
yang terangkum dan tercermin dalam kepribadiannya melalui sifat;
Shidiq,
Amanah, Tabligh, dan Fathanah.
Hal ini diperkuat dan dipertegas lagi dengan Firman Allah SWT (Q.S.
Al Ahzab 33 :21 )
sebagai bukti otentik tentang suri keteladan yang terdapat pada diri
Rasulullah Saw. Semoga saja masing-masing diri kita dapat menjadi
seorang pemimpin yang mendekati kriteria ideal, paling tidak kita
mampu menjadi pemimpin buat diri kita sendiri.
Posting Komentar